19.9.13

Obrolan Radikal

Tadinya, hari ini diprediksi tidak akan begitu seru untuk ditulis jurnalnya. Alasan pertama, saya baru mulai kehidupan benar-benar kehidupan itu jam 11 siang. Karena dari pagi hanya ngotak-ngatik playlist di laptop dan online-online saja. Alasan kedua, karena agenda saya hari cuma "re-design proposal cakrawala ev". Namun semua berubah setelah jam 12 siang.

Jam 1an itu cuma ngobrol-ngobrol soal jobdes + timeline deputi kompas ke putri seorang. Si dhiya ada kuliah katanya. Setelahnya ngobrol ke si novian soal publikasi dan konsep desain si PKM 2014. Sore ke bengkel ciumbuleuit ngangkut chasis sama si winnie. Di mobil bak terbuka itu hanya ada obrolan tentang kerasnya kehidupan jalanan. Awalnya cerita si bapak wawan sang driver tentang pengalamannya menjadi agency pengangkutan barang. Menurut pengakuan beliau, doi pernah ngirim dari bandung ke bali hanya dalam 26 nonstop. Lalu pengiriman keramik dari semarang ke palembang dengan ongkos jalan 35 juta. Lalu pengiriman ke sebuah pulau dekat papua. Di sana dia pernah ditahan seminggu oleh aparat setempat karena berkas-berkas yang kurang lengkap. Si winnie mulai cerita pengalaman tabrakannya atau lebih tepatnya mobilnya yang nyium pantat mobil rombongan. Ya abislah dia. Obrolan seru buat waktu berlalu dan macet terasa angin lalu.

Di bengkel cuma bentar. Naro chasis di workshop lalu cabut. Maghrib ketemu cindy + faisal. Pengesahan si faisal buat jadi koordinator pekaem. Menuju cokotetra ketemu asep. Di coktet ada bowo + nesha. Owner-owner yang ramah membuat malam yang hujan itu jadi makin hangat.


Jam 7-11 adalah malam berkualitas. Tadinya cuma mau konsultasi tugas akhir sama asep. Berhubung doi seorang pakar kelautan yang tidak perlu diragukan lagi kapabilitasnya. Introduksi dimulai dari obrolan ringan asep yang tiba-tiba masuk cokotetra dengan kata-kata yang menggebu-gebu. Doi cerita soal pertemuannya sama tukang becak siang tadi. 

Jadi dia parkir motor di sebelah tukang becak. Biasa lah asep anaknya senang bersosialisasi gitu. Mulailah percakapan doi dengan tukang becak. Tukang becak ini sudah menetap di bandung semenjak tahun 1968an katanya. Selama 10 tahun terakhir jadi tukang becak. Doi bercerita soal bandung yang asri. Jalan suci yang masih sawah, kehidupan bandung yang tenteram, dsb. Dia bandingkan dengan keadaan bandung sekarang. Kalau manusia normal, yang lebih menilai suatu kebahagiaan berdasarkan materi yang diperoleh, mungkin dia akan bilang tentang "sehari dia dapet duit berapa sih dari narik becak?". Atau "Apakah penghasilan yang dia dapat itu cukup untuk memenuhi kebutuhan si tukang becak itu sendiri apa tidak?" Tapi ternyata si tukang becak ini berkata suatu hal yang mengyinggung saya, asep, sandy, kami, dan harusnya seluruh pemuda yang berpendidikan. Ketika asep bertanya : apa narik becak ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, si tukang becak menjawab satu kalimat saja. "Ini bukan tentang saya neng, tapi bagaimana kita semua dan anak cucu kita nanti 40 tahun lagi"


Kurang lebih begitu. maaf kalau agak melenceng, tapi pointnya sama : Kalau sekarang manusia sudah bekerja kantoran, banyak memanfaatkan mesin, robot, dan segala bentuk otomatisasi (ala vicky prasetya), maka 40 tahun yang akan datang apa masih ada yang peduli akan keberadaan tukang becak? Atau kaum-kaum yang seperti bapak supir becak ini akan tergerus jaman? Lalu di mana peran mahasiswa? Diam saja? Pura-pura tidak tahu? Egois? Entahlah. Karena yang jelas, kalimat itu cukup menampar saya.

Sisa malam itu habis dengan bicara mengenai sejarah, filsafat, yunani kuno, bangsa arkadia, utopia, venus project, wawasan nusantara, dan lainnya. Tidak semua pembicaraan bisa saya ikuti karena ilmu saya belum nyampe sana. Hanya saja, seperti yang saya bilang di awal, saya tidak menyangka malam ini begitu berkualitas bersama orang-orang hebat di umur yang muda. Asep & sandy. Ucapan terima kasih akan saya cantumkan di prakata laporan tugas akhir.

***

Seharian semalam ini saya melihat 2 pemandangan cukup menyesakkan hati. Di siang hari yang cukup terik tadi, saya melihat sepasang kakek nenek sedang mendorong gerobak bubur ayamnya di jalan raya depan gasibu menuju flyover pasopati. Saya hanya melihat sekilas, tapi dampak untuk saya sendiri terasa hingga kini. Lalu yang kedua, malam jam 11 saya melihat 2 ibu-ibu yang baru pulang kerja lembur sambil hujan-hujanan dan hanya dipayungi plastik. Yang saya pikirkan saat itu hanya 1 : suaminya ke mana? Apakah benar-benar tidak ada waktu untuk menyempatkan menjemput istrinya? Atau mungkin membawakan payung ke pabrik tempat istrinya bekerja? Sesibuk apakah suaminya?

Dua pemandangan seharian semalaman tadi cukup membuat saya sadar akan peran lelaki nantinya. Semoga saya sendiri memang pantas untuk pasangan saya nantinya. 

Sesekali membicarakan hal ini tidak masalah kan?

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...