8.12.13

Dari pupujian sampai huhujanan

Éling-éling dulur kabéh,
ibadah ulah campoléh, 
beurang peuting ulah weléh, 
bisina kaburu paéh. 

Sabab urang bakal mati, 
nyawa dipundut ku gusti, 
matak kudu ati-ati, 
ka ibadah singguh mati. 

Karasana keur sakarat, 
nyerina kaliwat-liwat, 
kaduhung kaliwat langkung, 
henteu nyembah ka yang agung.

Itu hanya sepenggal pupujian (serupa lagu-lagu sebelum dilaksanakannya sholat di masjid-masjid), yang sekarang sudah tidak banyak terdengar lagi. Terakhir saya dengar dan lantunkan sendiri sekitar 10 tahun lalu di kampong pedalaman dekat Pangandaran sana. Nadanya masih saya hafal betul. Karena liriknya berbahasa Sunda, saya terjemahkan sebagai berikut :

Ingatlah saudaraku semua,
ibadah jangan lalai
siang malam jangan terlewat
nanti keburu wafat

Karena kita semua akan mati
nyawa diambil oleh Allah
makanya musti hati-hati
soal ibadah harus sampai mati

Terasanya ketika sekarat
sakitnya luar biasa
penyesalan tinggal penyesalan
tidak taat pada Yang Maha Agung.

Simpel. Tapi sarat makna. Saya iri pada orang yang masih teguh penidiriannya dalam hal ibadah. Lebih iri daripada melihat kawan liburan di negeri indah antah berantah. Lebih iri lagi pada pencipta lagu ini. Siapapun dia, pastilah amalnya baik dunia akhirat.

***

Hujan sore. Lalu lintas media sosial dilaporkan sedang ramai-ramainya. Oleh komplen-komplen, oleh kekesalan, dan segala bentuk tidak senang jika datang hujan. Orang-orang tipe itu tidak pernah tau bagaimana rasanya kekurangan apa? Kalau saya bilang (maaf), manja. Janganlah dibuat susah. Ada payung, jas hujan, sepatu boot, kresek, perahu, atap rumah, gayung. Semua itu dibuat untuk manusia melewati hujan. Kalau manja-nya keterlaluan, naik saja pesawat terbang, lewati awan, maka kamu tidak akan kehujanan.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...