9.12.13

Napak Tilas - Iman

Saat ketika kamu ingat siapa jati dirimu, siapa kamu di mata manusia lainnya, bagaimana kamu diperlakukan di dalamnya, dan bagaimana kamu memperlakukan sesama. Saat dimana kamu ingat dari mana asalmu. Saat itulah, ingat Tuhan.

***

10 Desember. 02.53 WIB

Berkali-kali dicoba, berkali-kali digulingkan, berkali-kali mencoba tidur, tidak mau juga. Ada yang salah dengan hidupku akhir-akhir ini. Bukan semata-mata karena tuntutan tugas dan semacamnya. Kalau aku tahu kenapa, pasti tidak akan menulis ini.


Sebelumnya sudah mencoba tertidur. Mencoba melakukan hal yang biasa dilakukan saat hendak tidur. Membayangkan memasuki dunia doraemon. Bukan bercanda, tapi memang begini dari SD hingga kini. Kalau sulit tidur, ya mencoba tidur, sambil berkhayal memiliki doraemon. Sampai sekarang masih dicoba karena masih ampuh. Tapi sepertinya tidak untuk malam ini.


Lalu mencoba plan B. Mengingat masa kecil. Belum pernah dicoba sebelumnya karena ngapain juga. Dikomparasikan dengan keadaan diri yang sekarang, ternyata bagai paris dan paris van java. Biarpun namanya sama, kondisinya jomplang. Let say dulu masih sering mengaji. Tiap sore jam setengah 6 bergegas ambil iqro, peci, dan penunjuk. Berangkat bareng anak tetangga, si Asep Ma Eteh, Ujang Apit, Hendra, Agung, Aen, dll. Kalau datang ke masjid paling dulu, mukul bedug paling duluan. Masih ingat betul kalau mukul bedug adzan itu posisi prestisius. Tapi begitu disuruh adzan, ga ada yang minat. Waktu itu yang paling kesohor jago adzan adalah si kang Miftahul Huda. Beda 5 tahun denganku. Kata teman-teman, dia selain terkenal jago adzan, juga jago mengaji Lagam (membaca Qur'an dengan cengkok merdu). Saat itu aku belum kenal siapa doi.

Kelas 2 SD, levelku naik dari bocah iqro jadi baca Al Qur'an. Masih nga ngi ngu fail. Untung ibu seorang guru ngaji di masjid yang sama. Jadi sikit-sikit cari ilmunya. Bocah tengil sepertiku saat itu masih diajari oleh ibu-ibu. Kalau level expert diajari oleh Kiyainya, Pak Solihin. Beliau ini masternya guru. Bukan hanya mengaji, juga kehidupan. 

Masih teringat betul awal mula belajar mengaji oleh beliau. Harus hafal juz 'ama dulu baru bisa mulai Al-Baqarah. Ujian ini rasanya paling membekas hingga sekarang. Perlu kerja ekstra untuk lolos ujian itu. Di kelas ngapalin, di rumah ngapalin, sambil main layangan ngapalin, terus begitu sampai hari H tes. Di depan sudah ada Pak Solihin. Posisinya sambil tiduran. Baca surat ini, surat itu, terbata-bata. Begitu ada yang salah, Pak Solihin pukul mimbar kayu sekencang-kencangnya. Bentak-bentak kalau apa yang kubaca itu salah makhrajnya/tajwidnya. Lucunya, semua orang saat itu malah menonton dan aku jadi bahan tertawaan. Hari-hari berikutnya kalau ada tes, suka beralasan pergi ke masjid. Alasannya takut kena bentak lagi, marah lagi, dan sebaginya. Tapi kalau tidak berangkat mengaji, Pak Solihin ini yang getol manggil satu-satu anak-anak yang bolos lewat toa masjid. Kedengeran seantero kampung. Malu. Berikutnya, mengaji lagi, bolos lagi, dipanggil lagi, mengaji lagi. FYI, waktu dipanggil lewat toa masjid itu, Pak Solihin memanggilku bukan dengan nama "Dias", tapi "Penjas". Alias Pendidikan jasmani dan rohani.

Lambat laun, aku mulai meniti level-level berikutnya. Hafal Surah Yasin (yang sekarang lupa-lupa lagi), belajar Lagam, juga adzan. Waktu itu belajar lagam Surah Al Baqarah, Al-Waqi'ah, dan lupa satu lagi pokoknya awalnya tuh alam taro ilalladziina aamanu.. Masya Allah lupa. Yang mengajar itu Ibu Maimunah. Tiap bada magrib mulainya, selesainya jam setengah 9 malam, dan masjid Al Mubarok baru adzan Isya jam segitu. Btw waktu ngaji itu dites satu-satu lewat tia masjid juga. Jadi ya suara tiap murid terdengar seantero kampong. Dulu katanya suaraku merdu, sekarang jadi merebek. Tapi itu katanya.

Awalnya bisa adzan itu karena dipaksa Pak Solihin. Pengalaman pertama mengumandangkan adzan itu masih berasa. Nafas pendek, suara gemetaran, biasa saja, hayya 'alal falaaa (nafas, sambung lagi) aaaah. Epic fail. Setelah itu jadi ketagihan. Aneh. Jarak rumah-masjid itu sekitar 400 meter. Tapi dulu sering banget jadi adzan dzuhur, ashar, dan kalo gak salah subuh juga pernah.

Solat apalagi. Bak orang sakau. Istirahat sekolah jam 10, pulang ke rumah solat duha. Pernah satu ketika ketiduran, sekip solat dzuhur, si ibu gak bangunin soalnya kasihan. Itu mah nangis sejadi-jadinya gara-gara lewat solat. Gila gak nyangka dulu soleh pisun.

Alhamdulillah hatam Qur'an pertama kalinya di umur 9 tahun. Pas mau melanjutkan ke kitab kuning, pindah rumah ke Bandung. Sampai sekarnag, belum pernah merasakan belajar baca kitab. Padahal dulu ngebet parah.

***

Sekarang, mari lihat setelah 10 tahun kemudian. Anggap saja lupakan postingan di atas. Itu ibaratnya orang yang berbeda. Mungkin benar kata hadist-hadist, amal seorang anak yang belum baligh itu amal untuk orang tuanya, sedangkan setelah baligh itu amal untuk dirinya sendiri, kalau gak salah ya. Kondisinya sejarang begitu jungkir balik. Saya adalah tipikal manusia kekinian yang imannya tergerus jaman. Belajar agama sedikit-dikit, banyak salah dari pada soleh, banyak pikiran kotor, hati kotor, panca indera tidak banyak diberdayakan untuk hal-hal baik, dan banyak sekali, sangat banyak pisan sekali dosa perdosaan. Ya Ampun. Mungkin guru-guruku yang dulu itu akan membentakku sebentak-bentaknya jika melihat aku yang sekarang. Ketika ilmu yang dulu beliau ajarkan tidak dipergunakan dengan baik oleh muridnya.

Rindu masa-masa itu. Rindu ketenangan hati saat itu, rindu Pak Solihin, Bu Dedeh, Pak Yana yang galak, Bu Ade penjual gehu sepulang ngaji, Bu Maimunah, bapak ini, bapak itu, dan semua orang di kampung Cikohkolm Banjarsari era 90an. Rindu yang teramat sangat. Entah kapan akan bertemu lagi. Tapi yang pasti, saya lah yang harus mencari keberadaan mereka semua. Sebelum wisuda. Janji
***



P.S : 
Sepertinya aku masih butuh pembimbing sepertimu, Pak. Yang mengingatkanku dengan pukulan di mimbar kayu ketika aku salah dan terlalu sibuk dengan dunia. Yang memanggilku lewat toa masjid ketika aku malas atau membuang waktu. Yang mengajarkanku ketika aku tidak tahu apa-apa. Baru 10 tahun berpamitan saja aku seperti hilang arah. Padahal, di hadapanku mungkin masih ada puluhan tahun, belasan tahun, 5 tahun, setahun, atau mungkin hanya sampai besok Allah mengizinkanku.

Hormat dan baktiku padamu, Pak. Semoga Allah melindungimu. Selalu.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...