19.4.14

Di Perantauan

Betapa sulit menjadi pemuda jaman sekarang. Hal-hal yang dulu jaman nenek moyang masih dianggap tabu atau pamali sekarang nyata-nyata jadi makanan sehari-hari. Atas nama kebebasan berekspresi dan kemerdekaan, semua itu jadi konsumsi. Tapi apalah daya, jika hal-hal yang menarik namun tidak banyak memberi manfaat lebih banyak dilakukan ketimbang hal-hal yang bermanfaat namun mendapatkannya haruslah bersakit-sakit.

Betapa enak menjadi pemuda jaman sekarang. Banyak aktivitas dibuat serba instant. Bahkan ke-instant-annya melebih mie. Apakah ini asal mula ada instant-gram? Berbeda dengan nenek moyang orde baru. Dulu belum ada search engine yang memudahkan mereka menyusun skripsi atau tugas akhir. Lantas mengapa mereka menjadi tolak ukur kesuksesan? Padahal harusnya para pemuda pemudi sekaranglah yang lebih sukses. Toh mereka sudah bisa tahu segala hal dengan mudah. Akses pengetahuan dengan hanya menjentikkan jari saja.

***

| April 16 |

Keberangkatan ke kampong halaman tertunda sehari gara-gara pen tablet yang ketinggalan di sekre indes. Baru berangkat hari ini. Duduk di bangku belakang anak kecil yang sering menggoda tapi lucu. 





Bersebelahan dengan seorang pemuda yang pendengarannya sangat tajam. Dari headsetnya terdengar lagu-lagu rock masa kini. Saking kerasnya volume headsetnya, saya sampai tahu lagu-lagu yang dia mainkan macam paramore, avenged 7 fold, dsb.



Sampai di tasik sekitar puku; 18.23. Dijemput si bapak. Dia kira saya sama pacarnya (nanti saya ceritakan). Sampai di rumah betulan mungkin jam 11an.

***

| April 17 |

Sawah baru dipanen seminggu lalu. Ladang baru ditanami kembali. Ada sekitar 400 Ha dan kebingungan mau diapakan. Belum ada yang urus. Lalu terpikir soal inves. Buru-buru kontak si gun mifta dan lainnya. Tanya soal benih pohon sonokeling lah, eboni lah, mahoni lah, apapun itu. Semata-mata buat tabungan. Kalau ditanam sekarang, mungkin 10-20 tahun lagi baru siap pakai.







Ini daun2an yang saya tidak tahu namanya. Dulu pernah buat mainan gelembung sabun dari batangnya.





Masih ada hutang-hutang kerjaan karikatur punya ansor, icha, dan gris. Dicicil satu-satu belum kelar. Sore belajar mobil. Pulang magrib, sudah bisa bawa pulang mobilnya.


Masih ada ternyata yang buat panggal. Mainan gasing dari kayu.

Malam-malam ke si uwak. Cerita-cerita soal wisudaan kemarin. Rombongan dari sini gagal berangkat gara-gara si the ari yang ujian hari sabtu, macet, dan lain sebagainya. Maka saya ceritakanlah. Sebelumnya, si bapak yang sudah bercertia duluan. Dia bilang-bilang soal perempuan yang cantik di sabuga yang membawa bunga-bunga. Dikomporin lah saya semalaman. Saya hanya tertawa-tawa mengamini saja setengah bermimpi.

***

| April 18 |

Desa ini banyak berubah. Memang iya untuk demografi dan kondisi social ekonomi Namun bagi saya, desa ini tak pernah berubah. Lebih-lebih soal perasaan. Apa yang saya temukan pagi ini adalah nikmat Tuhan. Dan jika taipan-taipan kapitalis tahu daerah ini begitu eloknya, sudah bisa ditebak, 5-10 tahun lagi kawasan ini bisa saja jadi komplek rumah atau perkantoran.














Singgah sebentar di sungai dekat rumah. Ketemu pak Eeng (dibaca seperti membaca bebek). Ngobrol-ngobrol soal hidup pasca kuliah. Dari nada bicaranya, dia seolah-olah menceritakan marabahaya yang ada di depan. Terdengar menakutkan sekaligus menantang. Dan apa-apa yang dikatakan oleh para motivator ulung di TV ternyata bukanlah yang mendorong kita. Itu hanya kata-kata yang dihias hingga terdengar puitis, lalu dari sana para motivator itu mendapatkan rejekinya. Motivasi hanya ada dalam diri setiap manusia. Itu adalah senjata. Tergantung dari cara setiap orang memakai senjata itu.

Saingnya, kebetulan yang sama kembali terulang. Khotbah jum’at soal peran manusia di masyarakat. Khotib berceramah seperti meledek, seperti sadar bahwa di surau ini ada seorang lulusan perguruan (yang katanya) ternama yang belum bermanfaat bagi agama, keluarga, apalagi bangsanya. Belum banyak. Atau mungkin ‘belum’ saja.


Pulang dari sana, saya menulis ini.

***

| April 19 |

Belajar berkendara mobil susah susah gampang. Dalam 2 hari akhirnya saya bisa melaju di jalanan provinsi. Besok mungkin saya sudah bisa terbang.

***

Menikmati masa-masa pasca wisuda sambil menyicil tabungan. Bukan materi tapi sesuatu yang dipersiapkan di masa datang ketika saya telah berkeluarga dan tua bangka. Lamaran ke sebuah perusahaan bonafide belum ada panggilan juga. Lamaran ke design house di Austria masih menunggu juga. Lamaran pada perempuan  belumlah ada rencana.

Dari hari ke hari tulisan di blog ini rasanya makin tidak bermutu. Dari diksi kata ataupun kontennya sama-sama masih yang itu-itu saja. Saya juga bosan.

***

Menyinggung soal sterilisasi kampus dari politisasi dan standarisasi kemakmuran lalala yeyeye yang tengah berkecamuk di almamater saya, saya tak mau ambil pusing. Bukannya saya anti politik. Mengerti sekedar mengerti saja. Tidak mau terlibat terlalu dalam. Tetapi jika keadaannya mendesak, saya pasti ikut campur.


Politik
adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur
yang kotor. Tetapi suatu saat di mana kita tak
dapat menghindar diri lagi maka terjunlah.

- Soe Hok Gie -

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...