21.5.14

Online Dating

Lagi-lagi, saya bahas ini berdasarkan sudut padang pribadi lho. Bukan benar bukan salah, bukan baik bukan buruk. Semua kembali pada pemahaman masing-masing.

***

Sekitar 5 hari lalu, masa-masa pemulihan pasca ditolak cewek, saya buka pembicaraan pada ibuk. Tentang si ayah, selama 23 tahun kemarin. Sejak bertemu hingga sekarang. Lama betul, kawan. Ya, saya baru berani bertanya itu setelah berumur 23 tahun ini. Cerita ibuk mungkin lebih banyak pahitnya. Dan saya enggan menulis detail soal itu. Saya mau nulis soal yang manis-manis di masa sekarang dan masa depan saja, yang saya persembahkan buat si ibuk. Tetapi dari situ saya cukup banyak dapat ilmu dan pandangan baru mengenai sosok beliau dan si ayah. Saat itu, adalah saat emosi membatu.

Tahun 1980-an. Pertama kali ibuku bertemu si ayah itu waktu karang taruna. Si ayah yang memang anak rantau, ngekos daerah situ. Ibuku sering melihatnya mondar-mandir di daerah situ. Aktif pula di karang taruna. Singkat cerita, katanya dulu si ibuk sering buatkan sarapan/bekal buat si ayah. Bukan karena kasihan, tetapi bukan karena cinta-cinta amat juga. Sayang juga kurang tepat. Dalam bahasa Sunda, ada kata yang tepat untuk menerjemahkan perasaan di antara kasihan dan sayang. Istilahnya nya-ah. Saya sulit menemukan padanan kata itu dalam bahasa indonesia atau english. Nah dari situ si ibuk akhirnya dipinang si ayah. Saya kurang tahu apakah pada saat itu si ibuk memang sudah mengenal betul karakter si ayah. Karena biasanya, mengenal dengan baik itu bukan hanya dari apa yang dilihat, tetapi juga didengar dari kawan-kawannya, dari keluarganya, dan sanak familinya.

Bertahun bersama, badai rumah tangga begitu kencangnya. Dan detik ini pula, saya tidak peduli masa-masa lama. Biar itu jadi pelajaran buat kami, buat saya. Yang saya petik dari semua itu hanyalah untuk meniru prestasi si ayah, bukan kehidupan cintanya. Makanya saya bisa naik pitam kalau ada orang yang mencoba me-mirip-miripkan saya dengan ayah dari sifat. Hell no!

***

Sekarang saya kembali ke masa kini. Saya baru baca artikel perihal fenomena hubungan asmara asmoro. Istilah yang kini gencar berkeliaran adalah online dating. Kalau saya simpulkan seenak dengkul, online dating itu ya semacam interaksi dengan lawan jenis yang dirasa menarik dengan bantuan media sosial berbasis internet. Dan namanya reaksi kimia, kau bisa kecanduan, kawan. 


Personally, saya tidak setuju soal itu. Lagi-lagi saya bilang ini bukan soal benar salah. Toh saya pun pernah melakukannya. Hanya saya, kalau ditanya alasan pribadi, saya punya beberapa. 

Pertama, saya senang menulis dan bersosial (azek kaum sosialita). Menulis di media sosial seperti facebook/twitter itu mudah saja. Kalau punya materi menarik, posting-lah. Kans buat dapat respon berupa komentar/like/retweet itu besar dibandingkan postingan yang standar motor. Tetapi postingan begitu kan sifatnya tidak langsung. Lain halnya dengan chat/percakapan yang sifatnya direct interaction. Kita perlu menempatkan diri seperti orang yang ngobrol face-to-face pula. Problemnya, ada kalanya apa yang ditulis itu bukanlah sesuatu yang memang -- sorry to say -- jujur apa adanya. Karena yang ditulis di situ sudah mengalami proses memamahbiak, re-consider berulang-ulang sampai betul-betul si orang itu merasa oke untuk mengirimnya. Tujuannya mungkin untuk supaya sang lawan bicara (apalagi kalau lawan jenis) itu merasa nyaman dengan apa yang kita ucapkan. Tetapi hati-hati soal chatting/pembicaraan di dunia maya. Banyak nian misunderstanding kalau susunan kalimatnya bukan SPOK atau tidak sesuai KBBI. Karena interpretasi penerima pesan bisa berbeda-beda. Nada bicara-pun tidak ada. Berbeda kalau percakapan tatap muka. Intonasi itu SANGAT berpengaruh pada maksud ucapan.

Kedua, image personality bisa dimanipulasi. Baik, keren, humoris, pengertian, romantis. Ah semua itu seperti menggali upil dengan telunjuk lalu menjentikkannya dengan jempol. Jadinya kayak main game. Tinggal pilih mau mendekati cewek yang mana. Mulai dari sesuatu yang ia suka/tidak suka, itu hal classic trick yang umum dipakai. Tinggal banyak baca referensi dari blog-blog dengan judul how to get a girlfriend in 7 days atau how to attract woman level: asshole. Biasanya, bajingan-bajingan bad boys itu lebih ngerti soal beginian, dan faktanya yang harus saya akui, mereka punya daya tarik. Jadi jangan iri sama preman-preman yang mukanya standar motor tapi ceweknya bidadari. Selain karena kuasa Tuhan, face the truth, that girls like badboys. Tapi kembali lagi, itu image yang muncul di percakapan via media sosial. Karakter manusia bisa berbeda 180 derajat loh ketika di dunia maya dengan dunia nyata.

Ketiga, kau takkan pernah tahu hebatnya bertatap muka dan berbicara di depan mata sampai kau mengalaminya, kawan. Okelah let say di media sosial itu si pujaan hati punya foto segede home page yang menuh-menuhin layar laptop. Sampai ads-ads di situ ketutup semua, sampai di zoom milyaran kali itu komedo bisa keliatan segede gaban. (Entahlah gaban itu satuan apa, kilogram atau ton). Selain itu, sudah ada teknologi videocall. Suaranya yang seperti srelek sol sepatu masih bisa terdengar srrreeelek. Bersanding dengan kedipan matanya yang seperti kibasan bulu merak. Tapi semua itu hanyalah layar laptop yang membuat matamu terkena radiasi. Sukur kalau dapet yang digebet. Worth it lah pengorbanan pupil mata dengan cewek bernama Pupi yang nama panggilannya adalah 'Pup'. Nah kalau enggak? Udah rabun, eh dianter ke klinik matanya sama tukang ojek lagiii tukang ojek lagi.

Keempat, saya melihat pasangan kakek nenek masa kini yang sering ditemui di jalan. Ya keleess dulu ada fesbuk/frenster/twitter. Paling banter ya surat-suratan. But, dude, that's owsom in their own way. Karena dulu gak ada medsos, mana ada kakek nenek sekarang yang naksir lagi pacar lama trus nyari-nyari nama gebetannya  waktu jaman jepang di facebook. Tak sedikit kita dengar di sekitar, banyak kali pasangan pernikahan sana sini yang terjerat kasus perceraian gara-gara orang ketiga. Sesimpel kawan SMA/SMP yang ketemu lagi di facebook. Jadi, para grandparents itu kalau saya bilang termasuk orang-orang beruntung yang tidak mengenal teknologi. Sederhana saja. Ya, menjadi sederhana itu bahagia. Dan bahagia itu juga sederhana.


Kelima, saya melihat kehidupan sendiri. Orangtua dan ya, diri sendiri. Mengenal itu sederhana saja. Kalau ada perasaan lebih itu bonus namanya. Apalagi bicara jodoh. Yang satu itu, istimewa. Maka prosesnya pun haruslah istimewa. Mungkin bisa saja singkat. Tetapi dengan proses yang agak lama tentu lebih meyakinkan untuk jadi bahan pertimbangan.

***

Tempo hari saya pernah dibilangin si winnie buat sign up di salah satu apps semacam biro jodoh. Sebut saja Tinder. Saya lihat dulu reviewnya, ternyata recommended. Ratingnya 4 dari 5. Mungkin waktu itu tanpa pakai kepala dingin, saya agak marah sama doski. Pertama, karena saya kurang suka online-dating, kedua, karena orang itu yang saya suka. Jadi logikanya, masa saya cari cewek pakai apps itu sedangkan yang saya mau ada di depan mata? Walau akhirnya doi tak mau jua. Tapi saya sudah minta maaf padanya. Alasan tadi juga saya sebutkan. Tanggung.

***

So, life is a matter of choices. Yang saya pilih adalah jalur keprimitifan ini. Akun media sosial yang betul-betul aktif mungkin cuma facebook dan twitter saja. Email dan blog sifatnya personal. Biarlah dikata ketinggalan jaman. Soalnya saya mau interaksi manusia itu kembali pada asal muasalnya. Bertatap muka dan satu suasana. Terlebih soal perempuan. Yang saya pikirkan itu masa depan. Jangan sampai nanti, waktu punya istri dan anak, masih ada hati yang nyangkut di instagram mantan atau pathnya gebetan waktu jaman SMA. Namanya hati perlu dijaga. Manusia kan tempatnya khilaf. Begitu kata Nabi. 

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...