13.10.14

Sekembailnya ke Bumi Parahyangan

Bandung, October 13th

Seringkali buah pemikiran yang ingin ditulis disini hanya berlalu begitu saja tanpa mau singgah sejenak di benak. Di jalan,di kereta, di sawah, di gunung, di warung kopi. Tidak mungkin saya bawa laptop kemana-mana untuk menuliskannya langsung, baik itu di software semacam mikocok word, notepad, atau blog yang terhubung langsung ke internet. Seringkali, sisa waktu di ujung hari hanya bisa dimaksimalkan untuk mencuci kaki, gosok gigi dan solat isya saja. Setelah itu tidur kembali, hingga besoknya memulai hari yang lain. Terus begitu hingga saya betul-betul meniatkan diri untuk menulis jurnal-jurnalan ini, seperti sekarang ini.

Sudah 2 minggu di bandung. Selain untuk break dari peringgrisan di pare, ada beberapa hal yang ingin saya lakukan.

***

Waktu itu, hari-hari pertama pulang ke bandung, pola hidup masih terbawa suasana pare yang damai, yang sesuai roda kehidupan masyarakat desa, masih bangun jam 5 pagi, tidur jam 9 malam. Tapi itu hanya bertahan selama 3 hari, sampai akhirnya saya kembali terbawa pada jam hidup kota metropolitan, dimana waktu untuk tidur adalah pukul 12 malam, dan bangun jam 8 pagi. Kadang masih sempat subuh, kadang bablas. Ada 1 kesimpulan yang bisa saya ambil dari fenomena ini. Ini yang berhubungan dengan diri saya pribadi. Saya hanya heran, mengapa saya merasa menjadi the best of me ketika berada di luar rumah? Di rumah bawaannya malas, ngantuk, tidak bergairah, bibir pecah-pecah dan sering buang air besar. Ini betulan. Akhir-akhir ini, kasur yang empuk adalah kasur terkejam bagi saya. Memang enak, sampai siang saya masih bisa leyeh-leyeh. Tapi kalau dipikir-pikir, kasur ini kejam karena merampas waktu-waktu berharga yang selama ini harusnya bisa saya isi dengan aktivitas penggerak badan. Beda dengan di pare. Kamar seperti neraka bocor bahkan jadi motivasi tersendiri biar banyak-banyakin aktivitas di luar. Cepet-cepetin bangun dan mandi waktu udara masih segar, olahraga, makan teratur, dsb.

Mungkin ini sebabnya orang bandung dikenal sebagai orang yang selow karena kondisi geografis dan suhu kota yang berpengaruh pada psikologisnya. Berbeda dengan orang makassar atau medan yang notabene kotanya panas, maka sifatnya pun cederung keras, tapi bukan kasar. Dalam hal usaha atau pekerjaan pun sama saja. Saya seringkali jengkel melihat tetangga yang maunya enaknya saja tapi usahanya minim. Atau di organisasi pun seperti ini. Padahal sebetulnya apa yang dicita-citakan tentunya untuk kemaslahatan bersama. Dan lagi-lagi, statement "selow weh atuh da masih lila" (selow aja lah masih lama ini) menjadi senjata untuk berdalih.

***

October 4th.

Idul Adha adalah salah satu alasan saya pulang ke Bandung. Selain untuk perbaikan gizi, juga perbaikan ekonomi. Pagi hari itu, ketika saya masih diselimuti belek dan jigong, pak RW menyatroni rumah. Entah si Pak RW yang sudah tau nama saya, atau cuma tau rumahnya dari hasil googling. Dia tiba-tiba ngasih kabar kalau besok ada takbir keiling ke lapangan tegalega. Instruksi tambahannya, kumpulkan 50 orang. Ebuset..secepat itu? Kenapa gak dari dulu, kenapa baru ngasih tau H-1? Yaa saya sih berusaha profesional, walaupun kenyataannya yang berhasil terkumpul hanya 14 orang. Tapi jumlah yang sedikit ini digabung dengan kecamatan lain, dan kami tetap berangkat sore harinya menjelang malam takbir.







October 5th.

Sepulang solat Ied, bergegas ambil kamera dan seperangkat alat jagal, menuju lapangan Pak Syarif. Di sana ada 2 ekor sapi. Yang 1 hasil donatur tunggal, satu lagi hasil dari 7 orang donatur. Di akhir, alhamdulillah diperoleh sekitar 500 bungkus daging beserta jeroannya untuk dibagikan ke warga.










October 10th

Mendengar cerita-cerita kawan-kawan soal acara terakhir Karang Taruna buat saya sedih. Katanya chaos, minim SDM, dan kendala-kendala lain. Dan menurut kabar, di hari-H acara puncak, 'petinggi-petinggi' di karang taruna yang seharusnya mewakili saya yang saat itu masih di Kediri, eh malah ikutan menghilang. Bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan sih memang, hanya saja, seorang perwakilan, utusan, atau siapapun yang diberi amanah sudah sepantasnya memenuhinya. Bukan 'melarikan diri' meskipun ada acara yang lebih penting. Jika memang kondisi saat itu, acara sudahlah tidak kondusif, seorang pemimpin harusnya berada di garda paling depan, bukannya bermain petak umpet dan anggotanya mencari-cari. 

Acara puncak memang sudah berlalu. Hampir seluruhnya kembali ke kesibukannya masing-masing. Sekolah, kuliah, kerja. Sedikit sekali yang masih peduli atau sekedar mampir di sekre. Daripada diam, saya coba rintis usaha kecil-kecilan bersama karang taruna ini. Meskipun kecil, kalau memang menjalaninya dengan tekun dan ikhlas, yaa why not? Insya Allah berkah. Grand Launchingnya diadakan hari ini. 












***

Alhamdulillah, sudah 4 hari ini sold out di bawah 3 jam. Padahal, kuantitas adonan dan bahan-bahan lainnya bertambah dari hari ke hari. Semoga dimudahkan dan dilancarkan rezeki kami Ya Rabb.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...