21.10.14

Serah Terima Nusantara

October 22th

Saya benar-benar melewatkan momen-momen transisi kepemimpinan di tanah air ini. Benar-benar skip. Karena sebelumnya dikecewakan dengan tayangan televisi dalam negeri yang isinya tidak banyak yang penting. Sekalinya ada yang penting semacam pelantikan presiden, saya sedang ogah-ogahan. Juga karena ada kesibukan lain.


Bicara soal pemimpin baru, saya jadi ingat note yang pernah saya tulis dulu ketika Ridwan Kamil baru saja dilantik menjadi walikota Bandung. Isinya begini :


Sore kemarin saya berkunjung ke sebuah kampus, di sebuah kota yang walikotanya baru saja terpilih. Sore kemarin saya mendengarkan kisah seorang pemimpin yang menurut saya keren, berkharisma, tegas, adil, teladan bagi semua pemimpin, tidak hanya sebuah negara, atau kota, atau RT atau RW, tapi juga keluarga. Saya tulis sesingkat mungkin supaya sy ingat nanti ketika bercerita pada anak sendiri. Pada malas juga baca banyak2.


Jadi kisahnya, dulu sekitar abad ke-7 masehi, ada seorang pemimpin hebat. Jendral perang pemberani. Ia terpilih sebagai pemimpin di suatu negeri. Presiden kalau jaman sekarang. Pria ini berwatak keras, tegas, namun ada kalanya lembut. Di bawah pemerintahannya, beliau menciptakan tatanan pemerintahan yang jauh di depan pemikiran pemimpin2 negeri lainnya pada saat itu. Visioner.


Presiden ini yang menciptakan pembagian negara menjadi sebut saja provinsi, kabupaten, atau kotamadya. Sekarang ada kecamatan, desa, RT, RW,dst. Presiden ini juga mencetuskan ide gubernur, sekretaris, mentri pendapatan negara, hakim, panglima perang,dll. Pegawai-pegawai pemerintahan ini asalnya dari para ahli, namun mereka selalu diawasi dengan teliti oleh sang pemimpin yang sangar ini agar rakyat aman sentosa dan terjauh dari aniaya dan kezaliman. Dengan ketelitiannya, tiap orang yang akan mencalonkan jadi gubernur harus diaudit (dihitung) harta bendanya sebelum dia menjalankan pekerjaannya (di Indonesia ada tapi banyak tipu2). Apabila telah usai masa tugasnya, hartanya dihitung kembali. Kalau ditemukan hartanya melebihi dari yang dahulu, dan kelebihannya itu diperoleh dengan jalan melanggar peraturan negara, maka kelebihannya itu atau sebagiannya harus diambil dan diserahkan kepada Baitul Mal (Perbendaharaan Negara).(di sini boro-boro. Malah diternak bikin boro budur di rumah sendiri). Operasi Pasar yang sekarang-sekarang sering keliatan di tivi, dulu sudah ada. Yang melakukan ya sang pemimpin ini sendiri turun ke TKP. Bukan utusan siapapun. Blusukan ke TKP nya juga bener. Ada susu yang dicampur air atau santan langsung diminta ganti pake susu asli bergizi semua. Enyak enyak.. Pengiriman pesan lewat pos juga sudah. Undang-undang yang sekarang ada juga sudah dibentuk pada zamannya. Kesetaraan warga negara, adil pada semua, walaupun saat negaranya perang dengan bangsa romawi, ada penduduk nasrani di negaranya, dan penduduk ini tetap hidup layak tanpa ada diskriminasi. Adil. Pokoknya semuanya udah beyond the future dah! Gilee bener-bener orientasinya masa depan banget. Pemikiran modern yang diaplikasikan secara benar. Bukan momoderenan.
Hasilnya, negaranya maju. Jawara perang. Negaranya disegani oleh dunia. Semua rakyatnya pun makmur sejahtera, semua aspek kehidupannya maju, peradabannya maju. SELURUH RAKYATNYA tidak ada yang miskin kecuali satu orang. Sang Pemimpin itu sendiri. Karena baginya, kesejahteraan rakyatnya adalah prioritas utama.
Pemimpin itu namanya Umar bin Khattab.


***


Saya akui saya bukan mahasiswa agamis. Kadang banyak salah ketimbang soleh. Tapi cerita kemarin sore di masjid Salman ini luar biasa. Kalau saya gambarkan saat itu, sore itu, di dalam masjid itu, semua hening, hanya ada ustad yang bercerita berapi-api, dan hampir semua yang ada di sana diam. Merinding asli. Terakhir saya merinding itu nonton Insidious setahun lalu.


Ada kutipan menarik yang menurut saya jadi bahan introspeksi buat saya pribadi, umumnya yang membaca ini, atau mendengar. "Kalau negara ini kacau, rakyat jangan salahkan pemimpinnya. Karena tidak semua orang berani dan mampu menjadi pemimpin. Salahkan rakyatnya sendiri. Kenapa sampai diberi pemimpin yang begitu, atau staf-stafnya yang berkhianat. Kalau negara kacau, dan pemimpinnya salah, rakyat harusnya mendoakan, membantu juga negara. Jangan mencemooh, atau menghina akibat buah kekecewaan pada pemimpin. Wong negara udah jelek masa dijelek-jelekin juga. Kalo udah maju, dijelek2in juga ndapapa, soalnya mau ngejelek2in apanya juga coba. Pun jangan manja dan hanya berarap dari sosok pemimpinnya. Pemimpin bukan pahlawan. Pahlawan itu tidak ada. "
Contoh simpelnya : Kita ribut-ribut demo bakar ban, nyolot-nyolot polisi gara-gara BBM naik, tapi tetangga sendiri dibiarkan makan nasi aking (misalnya). Atau kita banyak komplen soal susahnya tugas akhir sementara tetangga sendiri ada yang belum bisa ngaji, misalnya. (Tapi da emang hese sih TA euy kumaha deui .__.) Lalu apa hubungannya? Kebaikan suatu negara berasal dari kebaikan provinsinya. Kebaikan provinsinya berasal dari kebaikan kota-kotanya. Kebaikan kotanya berasal dari kebaikan RT RWnya. Kebaikan RT RWnya berasal dari kebaikan keluarga. Kebaikan keluarga berasal dari tiap individu di dalamnya.

Q.S Ar-Ra'd ayat 11


Kira-kira begitulah sore kemarin itu. Menurut saya, sudah bukan saat bermimpi mendapat pemimpin terbaik saja. Tapi juga membantu pemimpin untuk mencapai mimpi terbaik. Bersama. Bandung baru saja memilki walikota baru. Berdoa dan ikut berusaha untuk bandung yang lebih baik. Tahun depan Pilpres. Semoga Indonesia dianugrahi 'Singa Padang Pasir' seperti negeri yang makmur tadi. Amiin.

Bandung, 2 Agustus 2013. 07:04

*** 

Melihat kepemimpinan ala Ridwan Kamil sekarang, saya jadi ingat statement-statement yang dulu banyak menyudutkan bahkan cenderung meremehkan beliau, karena dianggap belum terlalu paham soal politik dan segala hal berkaitan dengan pemerintahan. Kenyataannya sekarang malah Bandung dianggap role model oleh kota-kota lain sebagai contoh penataan kota, pemerintahan, regulasi, pendekatan masyarakat, dan lain sebagainya.

Bandung Juara. Jargon yang sering terdengar di media-media terutama media sosial. Melalaui media sosial inilah, Kang Emil memanfaatkan waktu untuk sekaligus berinteraksi dengan masyarakat yang jumlahnya ribuan.

Saya jadi berpikir, dengan banyaknya penduduk Bandung, dan satu orang Walikota, tidak mudah menyelaraskan visi dan cita-cita. Masyarakatnya terlalu heterogen. Anggap kita sedang membandingkan dua masa. Tahun 1970-an dan tahun 2014. Jika pada saat itu, Pak Otje Djundjunan (Walkot Bandung periode 1971-1976) membuat banyak perubahan signifikan bagi kota Bandung, itu bisa disebabkan salah satunya karena masih sedikitnya penduduk kota bandung serta homogen. Sehingga mudah untuk menyatukan visi bersama.

Beralih ke masa sekarang, 2014. Jika 1 orang walikota memimpin suatu kota yang jumlah penduduknya sekitar 4 juta orang, heterogen, apakah mungkin semuanya mengikuti visi 1 orang itu? Mengatasi hal itu, ada sub-pemerintahan di bawah pemerintah kota seperti kecamatan, kelurahan, RW, hingga RT. Rukun Tetangga adalah sistem pemerintahan paling kecil yang mencakup beberapa orang saja.

Namun sepertinya sekarang saja satu RT saja terdiri dari puluhan keluarga dan bahkan tidak sedikit yang di dalamnya berbaur macam suku bangsa dan budaya. Heterogenitas ini cukup tricky jika disangkutpautkan dengan penyamaan visi suatu komunitas. Saya merasakan sendiri di karang taruna. Sub-sub terkecil ini saja masih rentan akan pro kontra suatu tujuan, visi. Banyak yang setuju, namun ada pula yang bertentangan. Dan kadang, mereka yang kontra ini malah memisahkan diri, membentuk komunitas baru.

Pertanyaannya sekarang adalah, apa perlu dibentuk sub pemerintahan baru yang menaungi suatu koloni masyarakat di bawah RT?

***

Tidak usah sepertinya. Andaikata tiap sub-sub kecil ini dipimpin oleh para pemuda terpelajar yang rela menyisakan waktunya untuk kegiatan-kegiatan sosial. Tujuannya bukan untuk pamer atau mencari popularitas, atau dalam istilah kekiniannya adalah pencitraan. If you wanna go fast, go alone. If you wanna go far, go together. Nah kalau mau far and fast, swasembada. Mandiri. Dimulai dari kumpulan terkecil dulu. Satu RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, hingga negara. Jika ada 10 pemuda terpelajar di suatu kampung punya tujuan sama, diutus ke 10 kelurahan berbeda, bukan tidak mungkin 1 kecamatan bisa berkembang pesat. Harus bersakit-sakit dahulu memang. Kenyataannya, tidak semua mau merana bersama sampai nantinya sukses bersama. Terlalu banyak distraksi bagi kaum intelektual muda sekarang.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...