Semua orang tidak suka didikte. Terlebih laki-laki. Mereka
ini model-model makhluk keras kepala yang tidak mau diatur, diajari, juga
dinasehati, apalagi oleh sesama laki-laki, apalagi oleh laki-laki biasa. Mereka
ini umumnya, atau kebanyakan lebih mau menyediakan ruang untuk mendapat
pelajaran dari laki-laki yang ia anggap hebat, yang ia anggap tauladan.
Tulisan terakhir saya di facebook tahun lalu soal
detik-detik pelantikan walikota Bandung. Dulu dipandang sebelah mata, namun
kini, dengan tindakannya, ia berhasil membawa kotanya hampir Juara. Beliau
menjadi teladan bagi para bapak yang memimpin keluarga, menjadi teladan bagi
para bos di perusahaan, menjadi teladan bagi para pelajar, civitas akademik,
buruh, ibu rumah tangga, dan segala golongan umat manusia, bukan hanya di
kotanya, namun juga di seluruh pelosok Nusantara.
---
Akhir-akhir ini ada sesuatu yang membuat saya gatal untuk
tidak berkomentar. Bukan soal politik makro negeri ini, bukan mobil nasional,
bukan kisah syahrini kebanjiran. Ini soal ketidakwarasan bapak-bapak di tempat
tinggal saya yang sudah tercium bau-bau permainan busuknya.
Februari 8.
Minggu pagi sudah rapi dan wangi. Hari ini ada dua agenda
pernikahan teman, ridwan dan akrim. Saya sudah janjian sama kawan-kawan KM biar
berangkatnya barengan. Jam 9.40 saya diundang rapat koordinasi Karang Taruna di
kelurahan. Pembahasannya soal virtual payment tagihan listrik, pulsa, internet,
dan lain-lain. Sisanya ya bumbu-bumbu penyedap yang bahkan saya lupa. Baru
setelah rapat itu selesai, dilanjut obrolan saya dengan ketua tarka keluarahan,
si Rendi. Bagi saya yang akhir-akhir ini ‘menelantarkan’ karang taruna, obrolan
ini membuka pengetahuan baru. Singkatnya, kami membicarakan dana ratusan juta
per RW yang diagendakan pemerintah Kota Bandung tahun ini. Ceritanya seperti
apa?
Jadi begini, berdasarkan pengumuman dari Pak Ridwan Kamil,
tahun ini tiap RW akan mendapatkan dana hibah sebesar seratus juta rupiah untuk
pengembangan wilayah. Untuk apa saja? Mostly it’s all about Training SDM, dari
yang sifatnya hanya mengasah keterampilan hingga mendorong usaha ekonomi kecil
kreatif. Saya lihat rincian anggarannya, ya itu bisa dibilang amat besar. Coba
saja hitung di Bandung ada berapa RW.
Sampai situ jelas? Oke lanjut.
Kabar terbaru menyebutkan, dana hibah itu akan cair secara
berkala, tidak langsung BLEG cepe juta. Katanya, tahap pencairan pertama akan
diturukan sekitar bulan April mendatang. Sebentar lagi ya? Memmang..bulu ketek
tidak sama dengan memmang…
Sekarang, beralih ke cerita lain. Tempo hari, sewaktu saya
masih di Bandung, belum pindah ke Bogor, saya diundang rapat di Balai RW
perihal pemekaran RW. Sejujurnya, saat itu saya belum paham soal pemekaran.
Tapi setelah mengikuti rapat itu, perlahan saya mengerti maknanya. Pemekaran
adalah proses pembagian area wilayah (dalam cakupan RT/RW/Kelurahan/Kecamatan)
berdasarkan demografi suatu daerah (kepadatan penduduk, jumlah kepala keluarga,
dan lain-lain). Nah, sekarang, ada isu bahwa RW yang saya tinggali akan
dilakukan pemekaran yang notabene di ujung pemerintahan ketua RW yang lama.
Pemekaran itu sifatnya memang optional, tapi tidak selalu
critical. Tiap wilayah yang merasa perlu dimekarkan yang silahkan. Ada PP no.
berapa gitu saya lupa, yang mengatur soal pemekaran ini. Tapi tunggu dulu, saya
menemukan banyak kejanggalan di sini, di rapat tersebut.
Pertama, selama 7 bulan saya menjabat ketua Karang Taruna,
tidak pernah ada sounding soal pemekaran RW sebelumnya. Dilihat dari
urgensinya, gagasan yang diusung sekarang ini terkesan buru-buru, mengingat momentumnya
sekarang dalam masa transisi kepengurusan RW lama ke yang baru. Tergesa-gesa.
Bahkan saya baru mendapat surat undangan tersebut J-4.
Kedua, dalam rapat tersebut banyak sekali pembahasan soal
pembagian wilayah. Loh? Pemekaran ini ide siapa toh? Mengapa terburu-buru
sekali menentukan pembagian wilayah sedangkan warga saja belum mendapat
sosialisasi soal ini. Keputusan ini terlalu cepat. Urgensinya apa? Kalau hanya
soal ada beberapa RT yang tingkat kepadatan penduduknya diatas rata-rata dan
sesuai UU, kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari dulu?
Ketiga, yang terakhir dan yang menurut saya paling krusial. Pemerintah Kota Bandung sendiri telah mengeluarkan pengumuman cukup penting di awal tahun ini. Bisa dibilang ini kabar baik. Dana 100 juta/RW rencananya akan diturunkan bertahap mulai bulan April ini. Prosedurnya belum terlalu jelas mengingat masih banyak pembenahan. Tapi, di Karang Taruna kelurahan sendiri sudah ancang-ancang dengan menerbitkan Program Kerja tahunan yang didalamnya lebih banyak menargetkan pada kegiatan sosial seperti penyuluhan, pengembangan UKM kreatif, dan lain sebagainya. Memang ada pula untuk pengadaan alat dan barang tapi itu pun sangat dibatasi dan diantau ketat. Yang ingin saya singgung adalah, dengan dana 100 juta/RW ini, sangat rawan praktik korupsi sana sini. Tanpa bermaksud mengeneralisir, saya sih sudah cukup banyak melihat praktik macam begini sewaktu kuliah. Mati suri kita ini,seperti terkena suntik bius.
Saya tinggal di kawasan tersebut sudah hampir 2 dekade. Dari dulu mana ada tuh wacana pemekaran padahal jumlah Kepala Keluarga di sana sudah melebihi batas wajar seperti yang tertera dalam Perda. Tapi momentum sekarang ini seolah-olah ada niat lain dari para elit-elit kampung saya, para 'bapak' yang menganggap dirinya punya andil dalam lingkungan itu. Waspada dan suudzon itu bagi saya bedanya cuma sehelai rambut. Jadi, pemekaranitu sendiri merupakan tata cara pemerataan penduduk dengan membagi dua sebuah wilayah yang dianggap sudah tidak ideal karena kepadatan penduduk di kawasan tersebut. Bukan hanya itu memang pertimbangannya, tapi di kawasan saya, itu yang dianggap urgensi pemekaran ini. Imbasnya adalah pada struktural kepengurusan RT, RW, DKM, dan juga Karang Taruna tentunya yang akan menjadi 'terpecah'.
Saya hubungkan ke kucuran dana Pemkot :
Jika awalnya ada satu RW saja, maka dana 100 juta/RW tersebut otomatis hanya diperuntukkan untuk kepentingan kesejahteraan warga dalam RW tersebut. Sekarang, jika RW tersebut yang memiliki luas wilayah sekian meter persegi, jumlah penduduk sekian jiwa, lalu kemudia dimekarkan, tidak akan ada yang berubah dari jumlah penduduk dan luas wilayah, hanya secara struktural dijadikan 2 RW. Dengan begitu, akan ada jajaran-jajaran pengurus RW yang baru dan yang lama akan dirombak. Visi Misi, Program-program ke depannya tentu akan disusun dalam AD ART-nya. Dan semua itu tentu butuh 'ongkos'. Yang menjadi unek-unek saya adalah momentum pemekaran yang seolah-olah dikejar supaya jatah 100 juta yang tadinya hanya untuk satu RW bisa dilipatgandakan karena sekarang menjadi 2 RW pasca pemekaran. Begitukah bapak-bapak di sana berpikirnya? Kalau ketebak, yaa saya harusnya dapat gelas cantik.
Saya tinggal di kawasan tersebut sudah hampir 2 dekade. Dari dulu mana ada tuh wacana pemekaran padahal jumlah Kepala Keluarga di sana sudah melebihi batas wajar seperti yang tertera dalam Perda. Tapi momentum sekarang ini seolah-olah ada niat lain dari para elit-elit kampung saya, para 'bapak' yang menganggap dirinya punya andil dalam lingkungan itu. Waspada dan suudzon itu bagi saya bedanya cuma sehelai rambut. Jadi, pemekaranitu sendiri merupakan tata cara pemerataan penduduk dengan membagi dua sebuah wilayah yang dianggap sudah tidak ideal karena kepadatan penduduk di kawasan tersebut. Bukan hanya itu memang pertimbangannya, tapi di kawasan saya, itu yang dianggap urgensi pemekaran ini. Imbasnya adalah pada struktural kepengurusan RT, RW, DKM, dan juga Karang Taruna tentunya yang akan menjadi 'terpecah'.
Saya hubungkan ke kucuran dana Pemkot :
Jika awalnya ada satu RW saja, maka dana 100 juta/RW tersebut otomatis hanya diperuntukkan untuk kepentingan kesejahteraan warga dalam RW tersebut. Sekarang, jika RW tersebut yang memiliki luas wilayah sekian meter persegi, jumlah penduduk sekian jiwa, lalu kemudia dimekarkan, tidak akan ada yang berubah dari jumlah penduduk dan luas wilayah, hanya secara struktural dijadikan 2 RW. Dengan begitu, akan ada jajaran-jajaran pengurus RW yang baru dan yang lama akan dirombak. Visi Misi, Program-program ke depannya tentu akan disusun dalam AD ART-nya. Dan semua itu tentu butuh 'ongkos'. Yang menjadi unek-unek saya adalah momentum pemekaran yang seolah-olah dikejar supaya jatah 100 juta yang tadinya hanya untuk satu RW bisa dilipatgandakan karena sekarang menjadi 2 RW pasca pemekaran. Begitukah bapak-bapak di sana berpikirnya? Kalau ketebak, yaa saya harusnya dapat gelas cantik.
No comments:
Post a Comment