Konvoi Persib, di mana-mana konvoi Persib. Di instagram, di
facebook, path, warung pak amay, di warung BK (bubur kacang), semua tentang
konvoi Persib. Saya termasuk orang yang berkontribusi di dalamnya.
***
Minggu pagi sudah dibrendel line dan bbm soal pemilihan
ketua RW baru yang dilaksanakan di balai RW. Hari kemarin itu termasuk hari di
mana warga daerah sini berbondong-bondong keluar rumah pada waktu yang
bersamaan, selain Idul Fitri, Idul Adha, atau pemilu. Dari luar sudah banyak
warga dan kami salam-salam. Di dalam masih banyak pemilih. Prediksi awal
selesai pukul 11.49 waktu adzan dzuhur. Dan memang benar. Siang saya pulang
cari makan lalu ketiduran. Hasil akhir menurut panitia, yang menang adalah Pak
Rojikin, seorang dosen di salah satu universitas, masa SMA?! Saya kenal beliau
karena terlalu sering bertemu di rapat-rapat bersama warga. Dari tutur kata dan
wibawanya, ada harapan bagus ke depannya.
***
Bada Maghrib dipaksa anak-anak karta ikut konvoi persib
lagi. Saya tanya bukannya sudah tadi siang? (tadi siang saya memutuskan tidak
ikut konvoi karena malas dan sudah bisa, minggu lalu pernah ikut). Mereka
bilang tadi siang gak rame. Tanpa pakai baju biru, langsung ikut mereka. Bukan
karena ingin seru-seruan atau bikin ribut anak orang sih, tapi hanya mengawasi.
Sudah banyak berita yang saya dengar siang tadi kalau peserta konvoi banyak
melakukan tindakan tidak beradab. Jadi ikut saja biar terpantau.
Saya tidak menikmati keseruan konvoi persib tadi.
Kontradiktif sekali dengan konvoi minggu lalu waktu tengah malam. Kali ini asa males weh. Jangan tanya mengapa,
karena saya bakal jawab panjang lebar. Tapi karena ditanya, saya beberkan saja
alasannya.
Pertama, Si Koboy Kampung. Masih berhubungan tentang
postingan sebelumnya mengenai knalpot.
Kalau minggu lalu otak saya masih bisa men-tolerir knalpot-knalpot sangkakala
itu, kali ini tidak, bahkan cenderung anti. Karena perilaku yang ditunjukkan
mereka-mereka justru jadi bahan tontonan warga dari anak bayi belum lahir
sampai lahir sampai anak yang sudah manula. Entah siapa yang memulai, yang
pasti, apa yang ditunjukkan dari adegan nga-gerung-gerung knalpot itu tidak
mungkin tidak diingat mereka yang menonton, baik dengan ekspresi senang gembira
ataupun ekspresi pengen nendang truk molen. Jika diingat, ada dua kemungkinan :
dikagumi, atau dilupakan. Kalau tindakan macam itu cijadikan cita-cita
anak-anak kecil, mau jadi apa negara ini?
Sebut saja Farel, umur kelas 5 SD. Dia keponakan tetangga
yang ikut rombongan kami. Ada obrolan singkat.
Farel : kok aa sendirian?
Aliando : (tanpa baper,
saya jawab) iya tadi kan dipaksa ikut pas papas an di jalan, hehe.
Farel : A aku nanti mau bisa kayak gini a! (sambil
mainin gas motor)
Aliando : Persibnya
juga ga akan juara lagi di Indonesia, Rel. Mau pindah ke Arab.
Farel : Biarin
pokonya pengen bisa gerung-gerungin kayak yang tadi. (sambil mengingat atraksi tadi
di sepanjang jalan) .
Belum lagi dia menirukan gerakan orang-orang di samping
tukang gerung-gerung knalpot. Tangannya diayun-ayun di samping telinganya,
seolah-olah memberi isyarat kepada si tukang gerung-gerung itu untuk semakin
liar semakin hot jeletot dalam memainkan gas motornya. Saya jelaskan kalau itu
bukan hal keren. Tapi sepertinya dia abaikan.
Yaa semoga saya hanya bertemu satu Farel saja yang
bercita-cita menjadi tukang gerung-gerung.
***
Pertanyaan berikutnya, sebagian bobotoh persib sudah buta
warna mungkin, karena kebanyakan dijejali warna biru. Coba pikir, lampu lalu
lintas, ketika traffic masih kencang-kencangnya, lantas diserobot oleh mereka
yang sepertinya buta warna itu. Yang hampir selamat ada. Entah yang tidak
selamat, paling dia gamau disalahkan
atas perbuatannya menerobos karena dia anggap itu sesuatu yang bisa
dimaklumi selama Hari Pawai Persib ini. Dan ketika saya satu-satunya motor yang
menunggu lampu hijau, malah disuruh maju. Heran saya, perasaan tes buta warna
waktu ujian masuk FSRD dulu tidak sesulit ini.
***
Sampai di rumah jam 9.23 wib. Masih kelelahan sebenarnya,
tapi baru ingat kalau ada undangan acara pre-event Sumpah Pemuda dari karang
taruna tetangga. Saya ke sana bersama rombongan konvoi tadi. Hanya joget-joget
gila lalu pulangbawa keringat. Biar cuma dangdut, selama dress dan aksi
panggung si penyanyi masih dalam batas suci, saya sih ikut-ikut sampai selesai.
Sudah lama tidak berkeringat di acara musik. Karena biasanya, anak muda,
kekinian, banyak jaim dan malu kalau ikut joget-joget dansa dansi di
acara-acara musik. Entahlah, di pantauan saya selama ini, orang-orang yang
menganggap dirinya snang musik malah lebih sibuk mengabadikan acaranya pakai
stupid-phone nya mereka sendiri. Bukan menikmati. Saya rindu masa-masa itu.
***
Kadang-kadang pengen jadi Persib. Biar diteriakin “nu aing”
sama cewek-cewek se Bandung Raya. Tapi, the secret of happiness itu salah
satunya : tidak membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain.
Jadi tarimakeun weh…
Selamat Senin. Memang kembali ke peraduan, tapi jangan buat kebiasaan jadi rutinitas. Buat tiap hari berbeda dan jangan lupa bahagia.
No comments:
Post a Comment